Te-Minutes – “Nina Bobo”, siapa yang tidak mengenal lantunan merdu yang sudah tidak asing di telinga masyarakat. Nina Bobo seakan menjadi sebuah tradisi menidurkan bayi bagi masyarakat modern.
Secara histori, Nina Bobo sudah dikenal sejak kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia. Lama-kelamaan, lagu ini makin terkenal hingga penjajah dari Belanda pun ikut menyanyikan lagu ini. Itulah kenapa lagu ini juga terkenal di Belanda. Lagu Nina Bobo ini dipopulerkan oleh Anneke Gronloh, seorang penyanyi keturunan Indonesia-Belanda, dan Wieteke van Dort, seorang aktris dan penyanyi asal Belanda.
Di Indonesia, khususnya di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi juga ditemukan lantunan penidur bayi atau “Nina Bobo”. Namun, pada versi ini Nina Bobo yang dimaksud ialah “Bebong“.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bebong merupakan lantunan penidur bayi atau dalam hal ini “Nina Bobo” versi Suku Anak Dalam (SAD). Jika nina bobo versi modern di Indonesia disajikan dengan bahasa Indonesia, Bebong disajikan dengan bahasa Suku Anak Dalam atau Bahasa Rimba.
Adapun penggalan lirik dari Bebong ini ialah sebagai berikut:
Ho…. Tidok wanyu mulang mudik kundu ake
Tidok… wanyu mulang mudik daek tido umo daek…
Memang saat ini secara bahasa Indonesia lantunan tersebut belum diartikan dengan baik. Namun menurut sumber yang ada, Bebong telah digunakan secara turun temurun oleh Suku Anak Dalam khususnya Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batang Hari.
Para orang tua melantunkan Bebong ketika hendak menidurkan si buah hati dalam dekapan kain dengan cara digendong. Konon, dengan lantunan tersebut sang bayi akan merasa aman dan nyaman sehingga mempercepat proses si anak untuk terlelap.
Saat ini, memasuki era modern dengan kondisi hampir 80% Suku Anak Dalam yang termodrenisasi dengan sendirinya membuat “Bebong” kian sukar dijumpai. Bahkan pada generasi terakhir saat ini, para orang tua sudah sangat jarang melantunkannya bahkan sudah ada yang lupa oleh lantunan yang membuat mereka tertidur pada 20 – 40 tahun silam.
Hal ini tentu harus menjadi sebuah perhatian khusus. Terlepas dari stigma masyarakat tentang kehidupan Suku Anak Dalam yang saat ini dihujani oleh pro dan kontra. Namun, budaya tetaplah budaya, warisan leluhur yang sudah sepatutnya dijaga hingga anak cucu kita dapat berjumpa.
(Muhamad Aryuda)