Te-Minutes – Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia tidak hanya mengenang sebuah peristiwa, tetapi merayakan sebuah keajaiban. Di sebuah ruangan sederhana di Batavia pada tahun 1928, sekelompok pemuda dari berbagai suku, bahasa, dan latar belakang melakukan sesuatu yang nyaris mustahil: mereka mengesampingkan ego kedaerahan yang kental untuk mengikrarkan satu identitas baru.
Sumpah Pemuda bukanlah sekadar catatan sejarah yang dibacakan dalam upacara; ia adalah api yang menyalakan imajinasi kolektif akan sebuah negara bernama “Indonesia”. Ikrar tiga baris itu adalah fondasi spiritual yang melahirkan bangsa ini, sebuah proklamasi identitas jauh sebelum proklamasi kemerdekaan.
Untuk memahami keberanian mereka, kita harus melihat konteks zaman itu. Politik kolonial devide et impera sangat efektif memecah belah. Identitas Jong Java, Jong Sumatranen, atau Jong Ambon jauh lebih kuat daripada gagasan kebangsaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, para pemuda visioner itu sadar bahwa perjuangan fisik yang terkotak-kotak selalu gagal. Musuh bersama hanya bisa dilawan oleh satu kekuatan bersama: sebuah bangsa. Maka, lahirlah tiga ikrar suci yang meruntuhkan kemustahilan: pengakuan atas “satu tanah air” yang mengunci kedaulatan wilayah, “satu bangsa” yang menciptakan identitas baru di atas suku, dan “satu bahasa” yang memilih Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu yang jenius dan setara. Mereka berani bermimpi tentang sebuah negara yang bahkan belum ada di peta dunia.
Kini, hampir satu abad kemudian, api estafet itu telah berpindah tangan. Indonesia kini berdiri di ambang visi besar berikutnya: Indonesia Emas 2045. Ini adalah target ambisius saat negara genap berusia 100 tahun untuk menjadi negara maju, berdaulat, adil, dan makmur. Jika pemuda tahun 1928 adalah arsitek yang merancang fondasi bangsa, maka pemuda hari ini adalah arsitek yang bertugas membangun pilar-pilar kemegahan di atas fondasi tersebut. Mereka adalah generasi yang berada di usia emas Bonus Demografi, sebuah jendela peluang yang bisa menjadi motor penggerak kemajuan atau justru menjadi bencana demografis.
Tantangan mereka pun telah berevolusi. Musuh bukan lagi penjajah bersenjata, melainkan ketertinggalan, persaingan global, disrupsi teknologi, dan ancaman perpecahan internal. Untuk menjawabnya, peran pemuda menjadi sentral. Visi Indonesia Emas tidak bisa dibangun dengan mentalitas “mencari kerja”; ia harus dibangun oleh mentalitas “menciptakan kerja”.
Pemuda harus menjadi motor penggerak ekonomi, menjadi pembelajar adaptif yang menguasai literasi digital dan teknologi, serta menjadi wirausahawan inovatif yang melahirkan solusi baru, termasuk di sektor ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Namun, kemajuan ekonomi tak akan berarti jika bangsa terpecah. Jika Sumpah Pemuda 1928 menyatukan pemuda di dunia nyata, tantangan pemuda hari ini adalah menjaga persatuan di dunia maya. Musuh persatuan saat ini adalah hoaks, politik identitas, dan polarisasi ekstrem di media sosial. Pemuda harus menjadi agen moderasi, filter informasi, dan penjaga akal sehat. Mereka harus menerjemahkan spirit “Satu Bangsa” dengan kemampuan berkolaborasi lintas perbedaan, memastikan Indonesia Emas tidak hanya maju, tetapi juga tetap utuh.
Pada akhirnya, pilar kemajuan dan persatuan itu harus berdiri di atas fondasi integritas. Salah satu hambatan terbesar negara ini adalah korupsi. Visi 2045 akan tetap menjadi mimpi jika penyakit kronis ini masih subur. Pemuda harus menjadi generasi pelopor anti-korupsi, memulai dari diri sendiri dengan menolak ketidakjujuran sekecil apa pun, sekaligus berani menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Sumpah Pemuda 1928 adalah sebuah ikrar. Indonesia Emas 2045 adalah sebuah cita cita besar. Keduanya dihubungkan oleh benang merah yang sama: peran vital pemuda. Tugas generasi 1928 adalah menyatukan imajinasi, sementara tugas generasi 2045 adalah mewujudkan imajinasi itu dalam karya nyata. Api Sumpah Pemuda tidak pernah padam ia hanya berpindah tangan, dan kini ada di genggaman pemuda Indonesia, siap digunakan untuk menerangi jalan menuju masa depan emas bangsa.
Penulis;
Muhammad Imam Arifin,
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan, Universitas Jambi.






